KITA DAN PANDEMI Oleh : Dr. As’ad Muzzammil, M,H., Mediator Kepala Perpustakaan Bait Al Hikmah IAIN Metro

Dua hari yang lalu –di Group WhatsApp Keluarga Besar IAIN Metro– saya memposting sebuah link berita “Akhirnya saya dan keluarga merasakan keganasan covid 19” yang terbit di Harian Umum Radar Lampung, 23/06. Intinya mengisahkan effort Rais Syuriah PBNU, Ahmad Ishomuddin dalam berjuang melawan covid. Sebagai pentolan salah satu ormas keagamaan terbesar di Indonesia, Ishomuddin memiliki previlege yang memungkinkan dirinya mendapatkan suntikan vaksin pada kesempatan pertama. Di Istana Negara. Sesuatu yang ternyata tidak mengurangi sepenuhnya potensi seseorang yang telah divaksin untuk terbebas dari paparan covid 19. Terbukti kemudian Ishomuddin dan keluarganya sendiri dinyatakan positif. Banyak case yang sama yang terjadi di sekitar kita untuk menggambarkan bahwa Pandemi ini belum berakhir. Tulisan ini berusaha menyoal seberapa kuat ketangguhan kita menghadapi pandemi ini di tengah fakta masih banyaknya persepsi yang kontra terhadap covid itu sendiri.

Survival
Setelah lebih dari satu tahun berjibaku dengan virus SARS-CoV-2 atau yang lebih populer dengan istilah Covid19 (Corona Virus Disease), kini kita dikejutkan dengan banyaknya varian baru yang muncul. Angka positif covid yang sebulan dua bulan sebelumnya melandai tiba-tiba bergerak naik secara eksponensial. Pada saat bersamaan, kita membaca berita beberapa Negara seperti Italia dan Spanyol –untuk sekedar menyebut sebagai contoh– yang semula kondisinya jauh lebih parah dari negara kita kini justru telah survive. Pertanyaannya, apa yang menyebabkan begitu sulitnya kita keluar dari Pandemi ini dan, strategi serta kontribusi apa yang bisa kita tawarkan selaku masyarakat akademik?
Herbert Spencer, dalam bukunya “Principles of Biology”, yang terbit tahun 1864, memperkenalkan istilah yang sangat terkenal : Survival of the Fittest. Di situ, Spencer memperkuat teori Darwin sebelumnya tentang seleksi alam atau hanya organisme terbaik dalam beradaptasi dengan lingkungannyalah yang paling berhasil dalam bertahan hidup. Teori ini adalah basis penting yang mendasari studi tentang evolusi manusia dan makhluk hidup lainnya. Baca selengkapnya di artikel “Apa Itu Survival of The Fittest dan Maksudnya di Teori Evolusi”, https://tirto.id/f8oZ.
Dengan jumlah penduduk mencapai 274 juta, Indonesia berada di peringkat keempat sebagai negara dengan populasi terbanyak di dunia di bawah Tiongkok, India, dan Amerika Serikat. Dengan jumlah penduduk sebanyak itu menjadikan Indonesia salah satu negara paling beragam dengan kondisi penduduk yang bervariasi, baik dari segi suku, budaya, agama dan bahasa. Dari sudut geografis, Indonesia yang memiliki lebih dari 17.000 pulau yang terbentang dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rotte membuat posisi Indonesia menjadi wilayah yang sangat strategis dan menjadi tujuan utama wisatawan mancanegara. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tercatat ada 16,11 juta wisatawan mancanegara (wisman) yang masuk ke Indonesia pada tahun 2019. Banyaknya jalur pintu masuk yang tersebar via darat, laut dan udara, membuat potensi lalu lalang arus penduduk dari luar ke Indonesia terbuka lebar sehingga membuka peluang masuknya virus covid 19 tak terkecuali varian terbaru yaitu varian Delta dari India. Di dalam negeri, pergerakan lalu lintas manusia yang sulit dibatasi, menjadi penyebab terjadinya mutasi dan transmisi lokal yang tak terkendali. Membuat makin bertambahnya peningkatan positif covid 19 secara signifkan. Pada bagian lain, penambahan drastis itu tidak diimbangi peningkatan kuantitas dan kualitas layanan kesehatan. Bisa ditebak, angka fatality rate pun meningkat.
Sebagai manusia beriman kita tentu meyakini bahwa segala sesuatu yang terjadi di muka bumi tak luput dari Takdir Allah SWT, namun upaya kongkrit untuk survive dan selamat dari Pandemi haruslah tetap menjadi priortas utama. Sebagai masyarakat akademik, kita seharusnya bisa (lebih) terlibat aktif baik formal maupun non formal untuk mengedukasi masyarakat, minimal di lingkungan terdekat (Inner-circle) untuk senantiasa waspada akan potensi penularan covid terutama varian terbaru dengan cara memaksimalkan disiplin dan protokol kesehatan,. Tidak bisa dipungkiri, rendahnya literasi masyarakat di tambah beratnya beban ekonomi dan sosial sebagai dampak Pandemi yang berkelanjutan menjadi penghalang utama mendorong publik untuk berada dalam satu frekuensi yang sama. Selalu terdapat pro dan kontra bahkan mengarah ke sikap apatisme. Namun sekali lagi, sebagai masyarakat akademik, kita tidak boleh surut semangat. Banyak hal yang bisa kita lakukan. Dalam konteks vaksinasi misalnya, kita harus berada di garda terdepan untuk meyakinkan publik bahwa meskipun tingkat efikasinya tidaklah seratus persen, tetapi vaksinasi massal adalah bagian terpenting dari effort –di samping effor-effort yang lain– yang bisa kita lakukan untuk menahan laju penyebaran dan penularan covid menuju tercapainya kekebalan komunal atau herd immunity.
Tentu masih banyak hal lain yang bisa kita kontribusikan sebagai bagian dari tanggungawab moral dan sosial dalam upaya mitigasi di era Pandemi. Kalau bukan kita siapa lagi. Kalau bukan sekarang kapan lagi?
Tabiik Puun.

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below

No Responses

Tinggalkan Balasan

two × 2 =