Perpustakaan: Menjawab Tantangan Zaman? Oleh Aan Gufroni

Di era ketika semua informasi terasa cukup dengan sekali klik di layar gawai, apa kabar perpustakaan? Masih relevankah tempat sunyi penuh rak buku di tengah kampus ini? Jawabannya: sangat relevan, justru lebih dari sebelumnya. Perpustakaan bukan lagi sekadar ruang baca, tapi telah berevolusi menjadi pusat inovasi informasi yang menjawab kebutuhan zaman, termasuk bagi Generasi Z dan Alfa yang hidup di tengah revolusi digital.

Dulu, perpustakaan identik dengan suasana hening, petugas yang serius, dan lembaran kartu katalog. Kini, perpustakaan menghadirkan layanan yang lebih adaptif: digital repository, e-journal, katalog online, ruang podcast, hingga pojok literasi digital. Semangat ini sejalan dengan konsep Library 4.0, perpustakaan yang berbasis teknologi dan mampu bertransformasi sebagai ruang kolaboratif, kreatif, dan partisipatif.

Menurut laporan IFLA Trend Report, perpustakaan harus hadir sebagai agen perubahan dalam masyarakat digital—menyediakan akses terbuka, melindungi hak privasi digital, dan mendorong literasi informasi. Tentu kedepan Perpustakaan dapat menjawab tantangan ini melalui pengembangan layanan digital dan konten yang lebih inklusif serta interaktif.

Sejalan dengan itu generasi Z dan Alfa tumbuh dalam ekosistem digital. Mereka tidak hanya membaca, tapi menonton, mendengar, dan berinteraksi. Di sinilah pentingnya strategi information repackaging: mengemas ulang informasi dari sumber ilmiah menjadi bentuk yang lebih ringan, menarik, dan mudah dicerna—infografis, video edukatif, hingga reels dan carousel Instagram.

Hal ini sesuai dengan gagasan Prof. Sulistyo-Basuki (2007) bahwa repackaging adalah bentuk layanan proaktif untuk menjangkau pengguna informasi yang tidak terbiasa dengan gaya baca konvensional. Dan kenyataannya, tidak semua mahasiswa hari ini senang membaca jurnal 30 halaman tapi mereka tertarik jika esensinya disajikan lewat konten visual berdurasi 60 detik.

Perpustakaan juga kini menjadi creative hub, bukan hanya reading room. Di Perpustakaan mahasiswa bisa mengakses Wi-Fi gratis, berdiskusi di ruang terbuka, memanfaatkan koleksi digital, hingga membuat konten edukatif untuk tugas kuliah atau media sosial. Ini menjadi bentuk nyata bahwa perpustakaan menjawab kebutuhan pemustaka yang gemar berekspresi, berkarya, dan belajar secara mandiri.

Menurut McKinsey Report (2022), Gen Z lebih menyukai pembelajaran berbasis proyek, kolaboratif, dan visual. Maka, perpustakaan yang membuka diri terhadap kolaborasi konten, pelatihan digital literasi, dan pemanfaatan media sosial akan lebih mudah menarik minat mereka.

Perpustakaan juga berkontribusi dalam menciptakan masyarakat yang melek informasi, tidak mudah terjebak hoaks, dan mampu berpikir kritis, kompetensi yang sangat penting di era banjir informasi seperti sekarang. Dengan program literasi digital, pelatihan pencarian informasi ilmiah, dan penggunaan tools akademik, perpustakaan berperan aktif dalam membentuk karakter mahasiswa yang cerdas dan bertanggung jawab.

Seperti tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 Alinea IV, mencerdaskan kehidupan bangsa adalah salah satu tujuan bernegara. Perpustakaan adalah jembatan menuju tujuan itu, termasuk dengan menjangkau generasi masa depan melalui pendekatan yang relevan dan kontekstual.

Tantangan kedepan, Perpustakaan bukan hanya “penjaga buku”, tetapi telah berubah menjadi fasilitator ide, pemantik kreativitas, dan penyedia ruang belajar yang inspiratif bagi pemustaka utamanya bagi Gen Z dan Alfa, perpustakaan kini hadir bukan untuk menggurui, tapi menemani perjalanan intelektual mereka dengan cara yang lebih seru, lebih terbuka, dan lebih digital. Karena zaman berubah, perpustakaan pun harus ikut bergerak. Tetapi yang lebih penting bagi Perpustakaan yaitu perpustakaan tidak hanya mengikuti zaman tetapi juga mampu menjawab tantangan zaman. Semoga.

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below

No Responses

Tinggalkan Balasan

15 + four =