Kita Dan Pandemi (Bagian-2) Oleh : Dr. As’ad Muzzammil

metrouniv.ac.id – Dr. As’ad.,S.Ag., S.Hum., M.H. Mediator ( Kepala Perpustakaan IAIN Metro)

 

‘Pengalaman adalah pelajaran masa lalu untuk mengurangi beban masa depan”
_Michael Sage_

Kurang lebih dua minggu yang lalu, tepatnya akhir bulan Juli, saya mendiskusikan trend peningkatan positif covid di kampus ini dengan seorang kolega via jaringan whatsApp pribadi. Dari diskusi itu saya merasakan frekuensi yang sama. Terutama dalam rangka memutus mata rantai covid dan memotong potensi terciptanya cluster baru. Sayangnya, beberapa waktu kemudian yang bersangkutan (tak kuasa) menahan paparan covid pada tubuhnya.

Dalam tulisan sebelumya, baca “Kita dan Pandemi” saya juga menguraikan testimoni salah seorang pengurus besar PBNU yang sangat konsen dengan mitigasi covid, tetapi justru dia dan keluarganya menjadi korban dari covid itu sendiri. Pada bagian lain, realitas menunjukkan masih terdapat persepsi yang bertolak belakang di kalangan masyarakat luas, bahkan di lingkungan terdekat kita. Ada yang percaya. Ada yang setengah percaya. Ada yang tidak percaya sama sekali. Ada yang takut. Ada juga yang setengah takut. Ketidaksamaan persepsi di atas, menyumbang pada makin kompleksnya penanganan covid 19 di negara kita. Lalu bagaimana solusinya? Tulisan ini mencoba menyorotinya dalam konteks seorang penyintas.

Ibarat pepatah “malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih” mungkin saya termasuk “generasi pertama” di lingkungan IAIN Metro yang terpapar covid19. Sempat ketat di awal-awal Pandemi, lalu sedikit longgar di tengah dan makin teledor di akhir tahun, membuat saya akhirnya terpapar. Jangan dibayangkan bagaimana kalut dan takut yang menyelimuti saya saat menghadapi sesuatu yang tidak pernah terbayangkan. Harus saya akui, “Iman” saya terhadap covid pada waktu itu termasuk kategori “yazid wa yankus”. Kadang tinggi kadang rendah.  Saat Iman kuat, maka kewaspadaan saya terhadap bahaya covid begitu tinggi. Tapi saat menurun maka menurun  pula tingkat kepercayaan dan kehati-hatian serta kedisiplinan. Nah saat “Iman” sekaligus pada saat bersamaan Imun tubuh juga lemah itulah, menjadi entri point masuknya virus berbahaya ini. Beruntung saya Alhamdulillah –atas bantuan doa dan support dari banyak pihak–  berhasil  melalui masa-masa sulit itu. Apa yang bisa ditarik dari pengalaman itu? Tidak lain dan tidak bukan kecuali 3 T. Testing, tracing dan treatment.

Pertama testing. Segera setelah dinyatakan terkonfirmasi positif melalui test PCR itu, saya meminta seluruh keluarga terdekat termasuk saudara yang mengantarkan saya ke laboratorium untuk test. Merekalah kontak erat dan kontak dekat pada masa inkubasi yang memungkinkan ikut terpapar. Kedua Tracing. Kurang lebih polanya sama dengan bagian pertama, yaitu memetakan dengan siapa kita melakukan interaksi sebelumnya lalu mempertegasnya dengan rangkaian test sebagai upaya kanalisasi. Saya mendengar beberapa kolega kampus yang pernah berinteraksi juga melakukan test mandiri. Hasilnya tidak diketemukan “Cluster As’ad Muzzammil”. Dengan demikian dalam skup kecil ini upaya kanalisasi tadi berjalan efektif.

Ketiga Treatment.  Penanganan. Memang sebagaimana saya sebutkan di atas, selain anosmia (kehilangan indera penciuman), Alhamdulillah kondisi keseluruhan fungsi organ tubuh –sepanjang yang saya rasakan—aman dan terkendali. Mungkin dalam bahasa awam saya termasuk OTG. Orang tanpa gejala. Dan kalaupun masuk dalam kategori bergejala, gejalanya ringan. Dalam artian tidak adanya keluhan berarti terutama terkait saturasi. Semua normal. Sekali lagi menurut perasaan saya. Sebelumnya memang ada keluhan demam panas tinggi dan flu serta sedikit batuk yang –dengan mengkonsumsi obat tertentu– reda di hari kelima. Anosmia sendiri berangsur pulih di hari ketujuh.

Dalam konteks kekinian, terutama dengan merebaknya varian Delta –yang berdasarkan riset penyebarannya 6x lebih cepat–, prinsip 3 T sebenarnya masih amat sangat relevan untuk memutus mata rantai covid. Perpaduan pengetesan dan pelacakan baik dari segi kualitas maupun kuantitas adalah metode paling sederhana untuk mendapatkan gambaran di mana posisi “musuh” yang tidak kelihatan ini. Dengan diketahuinya posisi musuh tersebut maka akan diketahui pola penanganan (treatment) seperti apa yang seharusnya diambil. Cukupkah isolasi mandiri seperti saya tempo hari, atau diperlukan tindakan medis lebih (telemedicine hingga opname). Tentu ini kasuistis. Terutama yang berkaitan dengan penyintas yang bergejala. Lebih spesifik yang berkaitan dengan komorbiditas maupun kemungkinan penurunan saturasi yang tiba-tiba atau happy hypoxia. Dalam kondisi itu, narasi Agama mengajarkan “..Tanyakan pada ahlinya, jika kamu tidak mengetahui”. (QS. 16 : 43 dan QS. 21 :7). Jangan memutuskan sendiri apalagi berspekulasi.   Disinilah gunanya berkonsultasi dan berkomunikasi dengan tenaga medis –langsung maupun tidak langsung– manakala muncul keluhan yang tidak biasa.  Juga berkomunikasi dan melaporkan diri pada satgas covid setempat. Dengan antisipasi sedini mungkin Insya Allah potensi fatalistik dapat dihindari.  Selain itu, angka fatalistik juga dapat diantisipasi dengan vaksinasi. Vaksin memang tidak menjamin seseorang tidak terpapar, tapi minimal vaksin dalam dosis lengkap dan telah melalui fase pembentukan kekebalan tubuh dapat mengurangi “kebahayaan” virus ini.  So, jangan lewatkan sedikitpun peluang untuk divaksin, jika kesempatan itu ada.

Terakhir, memang kita tidak pernah tahu, di mana dan kapan kita bertemu dengan virus yang tidak kasat mata ini dan bagaimana kondisi imun tubuh kita saat berhadapan denganya. Ibarat Teori arisan, potensi suatu waktu terpapar dan “mendapat giliran” sangat mungkin terjadi. Tetapi meski demikian kita masih sangat bisa untuk menghindari atau minimal mengantisipasi. Misalnya dengan 3-5 M (Memakai masker, menjaga jarak, mencuci tangan, menghindari kerumunan dan mengurangi mobilitas) plus 1 D (doa) dan 1 V (vaksin). Namun, manakala segala daya upaya sudah dilakukan, prokes sudah diterapkan, PHBS sudah dimaksimalkan, namun Qodarullah tidak bisa menghindarkan kita dari virus ini, saatnya bertawakkal. Berserah diri kepada Yang Maha Kuasa. Dan the last but not least paling tidak dengan pengalaman “As-sabiqun al-awwalun”, yaitu para penyintas covid yang telah survive dengan segala suka dukanya, kita bisa mengambil keputusan yang terbaik, cepat dan tepat.

Selamat Tahun Baru Islam 1 Muharram 1443 Hijrah.

Semoga kita semua terhindar dari segala wabah dan bencana.

Tabiik Puun.

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below

No Responses

Tinggalkan Balasan

three × 1 =