…Bersikap adillah karena adil itu lebih dekat kepada Takwa..
(Qur’an Surat Al-Ma’idah : 8)
Tulisan ini seharusnya tayang Jum’at, 25/6, sebagai respon atas artikel Gigantisme, baca : Gigantisme IAIN Metro di portal metrouniv.ac.id. yang ditulis oleh Mukhtar Hadi, Direktur Pascasarjana IAIN Metro. Tetapi karena urusan “domestik”, memaksa artikel ini baru bisa terbit hari ini. Dalam bahasannya, penulis berusaha ‘menarik” terminologi Gigantisme dari yang semula berkaitkelindan dengan anomali proses tumbuh kembang anak karena pengaruh faktor produksi hormon pertumbuhan yang berlebihan, ke dalam konteks dan spektrum yang lebih luas berupa realitas sosial di masyarakat di mana oligarki atau pemusatan kekuatan (baca : kekuasaan atau power) bertumpu hanya pada sebagian kecil orang tertentu atau elit. Faktanya memang hegemoni politik, sosial, dan ekonomi tidaklah ditentukan oleh sedikit atau banyaknya sebuah komunitas melainkan pada seberapa besar kapasitas dan“isi tas”. Pada bagian lain superiotas berbasis solidaritas juga terbangun oleh kesamaan identitas dan kepentingan. Nah, tulisan sederhana ini berusaha mencoba menelisik fenomena “Gigantisme” dalam perspektif identitas, terutama dikaitkan dalam konteks oligarki.
Relasi mayoritas dan minoritas.
Phobia terhadap dominasi mayoritas ekuivalen dengan kekhawatiran akan munculnya tirani minoritas. Keduanya –jika dikelola dengan cara yang tidak proporsional– memiliki daya rusak tinggi terhadap kohesivitas sosial, keberagaman dan kemajemukan. Amartya Sen, –Peraih hadiah Nobel Ekonomi tahun 1998—dalam bukunya “Identity and Violence”, 2006, mengatakan bahwa persaingan identitas yang determinatif berpotensi menjadi bahaya laten peradaban. Sebelumnya, Samuel Hutington telah memprediksikan hal itu dengan Tesis-nya yang terkenal : Benturan antar Peradaban (Clash of Civilization)” yang salah satu argumennya didasari pada persaingan antara Barat dan Islam, juga berbasis identitas. Tentu tulisan ini tidak dimaksudkan untuk membahas konsep benturan antar peradaban (Clash of Civilization)sebagaimana yang diitensikan Huntington dengan tesisnya di atas.
Dalam kenyataannya, –memang– kesamaan identitas tidak bisa dipungkiri menjadi salah satu perekat utama sebuah komunitas. Ada kalanya komunitas yang jumlahnya kecil mendominasi komunitas lain yang secara kuantitas jumlahnya jauh lebih besar yang menyebabkan terbaginya strata dan kelas sosial dalam masyarakat. Di mana terdapat posisi elit –yang diwakili oleh segelintir orang, kelompok atau golongan — yang menduduki posisi komando pada pranata sosial utama dalam masyarakat. Pada bagian ini, solidaritas sosial yang melahirkan superioritas berbasis identitas tadi pada satu sisi menjadi semacam potensi besar namun pada sisi lainnya juga bersifat kontraproduktif ketika menyebabkan keterpinggiran kelompok lain yang jumlahnya mayoritas. Begitu pula sebaliknya.
Oligarki
Diskursus tentang oligarki sudah sejak lama menyeruak di ruang publik. Hal ini disebabkan adanya kekhawatiran akan terpusatnya sektor-sektor kekuasaan hanya pada kelompok atau golongan tertentu. Dalam konteks yang lebih luas, oligarki mengancam ruang partisipasi publik. Karena dominasi segelintir elit dalam setiap pengambilan kebijakan yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak cenderung melahirkan otoritarianisme gaya baru. Dalam negara yang demokratis dan heterogen, pembagian kekuasaan sebenarnya telah terdistribusi habis dalam konsep otonomi dan desentralisasi. Pertanyaannya mengerucut kepada Adakah kelompok –elit tertentu—yang mampu mendominasi sentra-sentra kekuasaan dalam sebuah negara yang demokratis? Lalu, jika ada, maka kelompok manakah yang berpotensi melahirkan oligarki? Disinilah, teori “Gigantisme” tadi menemukan momentumnya. Sudah sejak lama dominasi kelompok elit di Indonesia menguasai sektor ekonomi yang salah satunya melahirkan kongklomerasi. Data terbaru Forbes Indonesia merilis kesenjangan yang terjadi antara kaum elit dan masyarakat umum semakin menajam. Di mana terdapat 10 persen “elit” Indonesia menguasai sedikitnya 75 persen aset nasional dan oleh karenanya menempatkan Indonesia menjadi negara keempat tertimpang di dunia di bawah Rusia, India dan Thailand.
Problemnya, mereka yang dulu hanya berkutat di sektor ekonomi, kini mulai “tertarik” masuk langsung ke gelanggang politik. Menyebabkan terciptanya oligarki yang tersebar dari pusat sampai daerah. Berkecimpung langsung dalam jantung kekuasaan dan berpeluang melanggengkan supremasi dan hegemoninya. Menciptakan regulasi yang hanya menguntungkan kepentingan kelompok dan golongannya. Yang pada gilirannya akan merugikan seluruh lapisan dan sektor kehidupan masyarakat.
Itulah yang kita tolak, jangan sampai ada “Gigantisme” di negara kita apalagi di kampus ini. Tabiik..
Related Posts
Perpustakaan Bait Al Hikmah IAIN Metro Lakukan Studi Tiru ke UPT Perpustakaan UIN Raden Mas Said Surakarta
Bedah buku “rethingking pesantren” by Fandi Hidayat
Kunjungan Pustakawan UIN Salatiga ke Perpustakaan Bait Al-Hikmah IAIN Metro
Kepala Perpustakaan Bait Al-Hikmah IAIN Metro Periode 2018 – 2021 Tutup Usia
Kepala Perpustakaan Bait Al-Hikmah IAIN Metro Hadiri Seminar Nasional dan MoU dengan Perpustakaan Nasional
No Responses